Kemunculan media sosial, khalayak mengalami pergeseran budaya penerimaan informasi. Khalayak diberikan ruang untuk memilih apa yang mereka suka, tanpa disadari mereka berada dalam lingkaran yang hanya memperkuat suatu pandangan
---------
Penulis: Leo Randika (Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik)
Editor: Nekagusti
Kemunculan media baru (sosial media) memberikan kemudahan untuk khalayak menerima informasi apapun. Media sosial mampu menghadirkan, serta mentranslasikan cara berkomunikasi baru dengan teknologi yang sama sekali berbeda dengan media tradisional. Media sosial juga sangat berperan dalam penyebaran informasi bagi masyarakat luas di semua bidang apapun.
Sebelum kita membahas sosial media saat ini, melihat ke belakang media massa memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi opini publik. Melalui fungsi agenda setting, media massa mampu mengubah peristiwa biasa menjadi luar biasa penting bagi publik. Faktanya, memang banyak peristiwa penting di dunia digerakkan oleh media massa.
Media Massa, pusat penentuan kebenaran?
Berbicara media massa, pasti terkait dengan teori agenda setting, di mana media mempunyai peran besar dalam menentukan agenda individu atau kelompok, khususnya mereka yang terkena informasi dari siaran media massa. Dalam komunikasi massa, teori agenda setting cukup sering digunakan untuk membahas bagaimana efek media massa terhadap publik, atau khalayak luas.
Sebagaimana mengutip dari jurnal Teori Agenda Setting dalam Ilmu Komunikasi (2018) karya Elfi Yanti Ritonga, Bernard C. Cohen mendefinisikan teori agenda setting sebagai berikut: “Teori agenda setting adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran yang mampu mentransfer dua elemen, yakni kesadaran, serta informasi ke dalam agenda publik. Caranya, dengan mengarahkan kesadaran, dan perhatian publik pada isu yang dianggap penting oleh media massa.”
Asumsi teori agenda setting adalah, jika media memberi tekanan pada sebuah peristiwa, media tersebut akan mempengaruhi khalayak agar menganggap peristiwa itu sebagai hal yang penting. Sederhananya, apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting juga oleh khalayak.
Sekarang, sejak kemunculan media sosial, khalayak mengalami pergeseran budaya penerimaan informasi. Khalayak diberikan ruang untuk memilih apa yang mereka suka, atau informasi yang mereka butuhkan, di mana dulu khalayak hanya dijejali atau disajikan informasi yang telah dikontruksi media massa. Khalayak tidak pernah diberi kesempatan untuk memilih informasi yang mereka butuhkan, atau mereka sukai (satu arah).
McGraw Hill Dictionary mendefinisikan media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi, dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual. Jaringan distribusi informasi melalui infrastruktur internet praktis lebih luas, bahkan bersifat global ketimbang jaringan media pemberitaan konvensional.
Kebangkitan citizen journalism, atau pewarta warga berhubungan erat dengan meluasnya jaringan sosial media yang mengiringi perkembangan Information Communication Technology atau teknologi komunikasi informasi (ICT). Kehadiran media sosial memperlihatkan teknologi informasi, dan komunikasi telah merambah semua aspek kehidupan manusia dalam konteks membangun hubungan sosial (Flew, 2008).
Apa itu Algoritma Kurasi?
Tanpa disadari, pergeseran budaya penerimaan informasi ala media sosial ini ada teknologi yang menakutkan yaitu "algoritma kurasi". Algoritma kurasi menjadi kemudahan bagi pengguna sosial media, dengan sekali klik, kita memperoleh informasi yang kita butuhkan. Namun, di sisi lain, proses algoritma kurasi media sosial sekarang ini bisa juga menjerumuskan pengguna dalam lingkup yang itu-itu saja, keadaan di mana yang umumnya tidak disadari pengguna sosial media.
Cass R Sunstein dalam buku #Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media menjelaskan dampak algoritma kurasi melalui konsep Daily Me. Daily Me adalah istilah yang dipopulerkan oleh pendiri MIT Media Lab Nicholas Negroponte untuk menggambarkan surat kabar harian virtual yang disesuaikan dengan selera individu.
Bisa dikatakan, Daily Me adalah semesta informasi yang hanya merefleksikan minat, dan kepedulian pengguna internet sebagai individu. Daily Me merujuk pada kumpulan konten terpersonalisasi yang dikurasi berdasarkan profil digital pengguna internet. Semakin aktif kita menggunakan layanan digital, semakin intensif proses pengawasan terhadap terhadap diri kita, dan semakin lengkap profil digital yang dapat disusun tentang diri kita.
Artinya, algoritma kurasi di sini membantu kita menemukan informasi yang kita minati, dan mengabaikan informasi yang lain. Kita cenderung hanya mau menerima argumentasi yang memperkuat keyakinan kita, dan mengabaikan argumentasi yang lain. kita terjebak di lingkaran informasi yang searah, homogen, dan hanya memperkuat satu pandangan.
Namun, terkait isu identitas, Daily Me bersifat problematis. Seperti dijelaskan Burighel, algoritma kurasi secara laten membatasi netizen dari paparan informasi dan pandangan yang beragam. Jika kita aktif mengekspresikan dukungan terhadap seorang tokoh politik, sekaligus selebgram misalnya, kita akan terus disuguhi dengan informasi yang relevan dengan dukungan tersebut.
Jika kita menunjukkan ketertarikan pada ideologi tertentu, kita juga niscaya akan terus disuapi dengan informasi tentang ideologi tersebut, yang akan terjadi kemudian adalah mengabaikan konfirmasi. Kita cenderung hanya mau menerima argumentasi yang memperkuat keyakinan kita, dan mengabaikan argumentasi atau pendapat yang lain. Kita terjebak dalam informasi tersebut, yakni lingkaran informasi yang searah, homogen, dan hanya memperkuat suatu pandangan.
Leo Randika (foto: dok. pribadi)