IDN


Senin, 05 Desember 2022 05:03 WIB

IDN Times

Pemerintah 'Coba' Diskriminasi Pribumi Lewat RKUHP?

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti (foto: net)

“Dulu orang-orang seperti Hatta, Sukarno, Sjahrir, bisa dibuang ke mana-mana pakai pasal-pasal kaya gitu. Karena pemerintahan kolonial menginginkan pribumi ini yang bandel-bandel, yang bawel-bawel disingkirkan saja, dihukum,”

Bivitri Susanti
Pakar Hukum Tata Negara
_______

Penulis: Melani Hermalia Putri 
Editor: Putra Mahen


Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengeritik RKUHP yang akan dijadwalkan akan disahkan pada pekan ini. Bivitri menilai RKUHP akan membuat posisi Presiden Joko “Jokowi” Widodo semakin nyaman sementara rakyat ditekan untuk tidak banyak mengeritik pemerintah.

“Wah dengan RKUHP, (Jokowi) sangat nyaman, karena itu tadi ya, untuk orang-orang yang mengeritik lembaga-lembaga negara bisa kena pidana lebih tinggi daripada mengeritik orang-orang biasa, itu yang paling kuat. Hal itu juga yang biasanya kita soroti sebagai cara pandang kolonialisme,” kata Bivitri dalam diskusi KedaiKOpi, Minggu (4/12/2022).

Bivitri mengatakan RKUHP yang sudah disahkan tahap I oleh DPR ini berpeluang besar memidanakan rakyat sipil yang cenderung memberikan kritik terhadap pemerintah.

Kritik tersebut bisa saja dianggap sebagai pencemaran nama baik, atau dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan pemerintahan sehingga pengeritik bisa dipidanakan sesuai dengan pasal karet dalam RKUHP.

“Dulu orang-orang seperti Hatta, Sukarno, Sjahrir, bisa dibuang ke mana-mana pakai pasal-pasal kaya gitu. Karena pemerintahan kolonial menginginkan pribumi ini yang bandel-bandel, yang bawel-bawel disingkirkan saja, dihukum,” ucap Bivitri.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia ini juga menilai tak perlu ada aturan khusus pemidanaan pada orang yang mengeritik lembaga negara. Menurutnya secara filosofis, ada posisi tidak seimbang antara sipil dan pemerintah sehingga hukum dibuat untuk menjadi penyeimbang di masyarakat (rule of law).

Karena namanya penguasa dan rakyat tidak setara, untuk menyetarakannya dibangun yang namanya hukum. Jadi cara pandangnya harus gitu, sehingga RKUHP jelas akan membuat nyaman presiden dan semua lembaga negara, gak bisa dikritik,”

- Bivitri Susanti -

Sebelumnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disepakati di tingkat I antara Komisi Hukum DPR bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada Kamis, 24 November lalu. Pengesahan RKUHP dalam Rapat Paripurna dijadwalkan berlangsung sebelum masa reses DPR di persidangan tahun ini.

Sejumlah kelompok masyarakat masih tak setuju dengan RKUHP yang disepakati DPR RI bersama pemerintah tersebut. Aliansi kelompok masyarakat yang beranggotakan YLBHI, LBH Jakarta, Amnesty Internasional Indonesia, Greenpeace, Trend Asia, LBH Masyarakat, PBHI, dan Pantau Gambut menyebut sejumlah pasal bermasalah yang tercantum dalam RKUHP.

“RKUHP masih memuat banyak pasal bermasalah,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referendum.

LBH dan kelompok masyarakat lainnya menyoroti ada 11 pasal bermasalah dalam RKUHP. Pertama pasal terkait living law yang dianggap berbahaya karena kriminalisasi semakin mudah sebab aturan akan dibuat menuruti pemerintah daerah.

Menurutnya, pasal ini akan merugikan perempuan dan kelompok rentan lain.

“Sebab saat ini masih banyak terdapat peraturan daerah yang diskriminatif,” ucap Citra.

Kemudian pasal terkait pidana mati yang melegalisasi pidana mati. Padahal menurut Citra, perampasan hak hidup manusia yang melekat tidak bisa dicabut atau dikurangi oleh siapa pun termasuk negara.

Hukum ini harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi,”

- Citra -

Kemudian pasal penghinaan presiden yang dianggap antikritik karena dapat berujung pada pemidanaan. Hukuman serupa juga bisa dikenakan pada kritik terhadap lembaga negara dan pemerintah.

“Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujarnya.

Pasal lainnya yang disorot seperti pasal terkait perampasan aset untuk denda individu, pasal terkait contempt of court, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan, pasal edukasi kontrasepsi, pasal terkait kesusilaan, pasal terkait tindak pidana agama, dan pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme.

Deretan Kritik Terhadap RKUHP, Banyak Pasal Masih Dianggap Bermasalah

Demo penolakan RKUHP (foto: net)

LBH dan kelompok masyarakat lainnya menyoroti ada 11 pasal bermasalah dalam RKUHP.

Pertama pasal terkait living law yang dianggap berbahaya karena kriminalisasi semakin mudah sebab aturan akan dibuat menuruti pemerintah daerah. Menurutnya, pasal ini akan merugikan perempuan dan kelompok rentan lain.

“Sebab saat ini masih banyak terdapat peraturan daerah yang diskriminatif,” ucap Citra.

Kemudian pasal terkait pidana mati yang melegalisasi pidana mati. Padahal menurut Citra, perampasan hak hidup manusia yang melekat tidak bisa dicabut atau dikurangi oleh siapa pun termasuk negara.

“Hukum ini harus ditiadakan karena beberapa kasus telah terjadi bahwa pidana mati telah menimbulkan korban salah eksekusi,” katanya.

Kemudian pasal penghinaan presiden yang dianggap antikritik karena dapat berujung pada pemidanaan. Hukuman serupa juga bisa dikenakan pada kritik terhadap lembaga negara dan pemerintah.

“Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujarnya.

Pasal lainnya yang disorot seperti pasal terkait perampasan aset untuk denda individu, pasal terkait contempt of court, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan, pasal edukasi kontrasepsi, pasal terkait kesusilaan, pasal terkait tindak pidana agama, dan pasal terkait penyebaran marxisme dan leninisme.

RKUHP menyertakan hukuman pidana pada pihak, baik individu maupun perseorangan yang menyebarkan edukasi tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).

Pasal terkait edukasi kontrasepsi ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi pihak yang mengedukasi kesehatan reproduksi termasuk menginformasikan akses layanan aborsi aman.

“Aturan ini berbahaya karena bisa mengkriminalisasi orangtua atau pengajar yang mengajarkan anaknya kesehatan reproduksi,” kata Citra.

Selain memuat beragam pasal bermasalah, RKUHP juga dinilai minim partisipasi publik sehingga harus melalui proses diskusi lanjutan.

Citra meminta pemerintah dan DPR tidak mengesahkan RKUHP dalam masa persidangan tahun ini karena beleid itu masih memiliki banyak pasal bermasalah.

“Untuk itu masyarakat menyerukan kepada DPR dan Pemerintah untuk tidak mengesahkan RKUHP sebelum masa reses ini dan lebih banyak membuka ruang diskusi bersama masyarakat. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus mencabut pasal-pasal bermasalah, dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,” tutup Citra.

Sumber: IDN Times


Subscribe Kategori Ini
Most Populer
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur