Jejak Pertambangan Timah di Bangka Belitung
Wangka merupakan nama yang digunakan pada abad ke-7 untuk menamai Pulau Bangka. Nama Wangka diambil dari Bahasa Sangsekerta yang mengartikan kekayaan timah yang ada di pulau ini. Pada abad ke-7 hingga ke-17, Pulau Bangka belum menjadi perhatian kerajaan-kerajaan besar di Indonesia seperti Kerajaan Sriwijaya, Singasari, Majapahit atau Kekaisaran Tiongkok.
Awal Penemuan Timah
Pasir timah kali pertama ditemukan pada 1710. Pada saat itu, Bangka berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang dengan para penambang yang berasal dari Johor dan Siantan, yang sebelumnya melakukan penambangan timah di daerahnya yakni, Semenanjung Malaka dan akhirnya datang berbondong-bondong ke Pulau Bangka. Tak hanya itu, kapal-kapal dari Tiongkok dan Eropa pun ramai ke Bangka untuk mulai bernegosiasi tentang timah.
Beberapa abad lamanya tecatat banyak kerajaan kuno yang menyimpan cacatan pertimahan di Bangka, seperti kerajaan Sriwijaya.Terbukti pada abad ke-7 ditemukannya Prasasti Kota Kapur yang bercerita tentang penambangan timah di Pulau Bangka.
Bangka menjadi pulau yang diperebutkan bangsa Eropa, seperti VOC dan Britania terutama sejak ditemukan timah di Bangka awal abad ke-18, ketika kekuasaan Kesultanan Palembang terjadi konflik perebutan ini akhirnya mendorong bubarnya Kesultanan Palembang awal abad ke-1.
Zaman dulu di Muntok, penggalian timah masih dalam skala kecil sehingga alat-alat yang digunakan pun masih sangat sederhana, jenis timahnya pun disebut dengan timah kulit yakni timah yang ditemukan di permukaan.
Pada tahun 1730an, pada Masa Kesultanan Palembang yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin I. Sultan Mahmud kemudian menikah dengan wanita keturunan Tionghoa dari Johor-Siantan bernama Mas Ayu Ratu Zamnah. Kemudian Sultan Mahmud Badarudin membangun Rumah di kota Muntok untuk Zamnah dan kelurganya. Sejak saat itu kota Muntok menjadi daerah yang special karena keturunan para bangsawan yang berasal dari kota ini.
Wan Akub, Paman dari Zamnah merupakan tokoh yang ditunjuk oleh Kesultanan Palembang sebagai Kepala Negeri dan Kepala Petambangan Timah Bangka. Dan pada masa kepemimpinannya, penambangan timah di Pulau Bangka dilakuakan secara besar-besaran dengan mendatangkan kuli tambang Tionghoa dari Siam dan juga Chocin.
Metode Pertama Penambangan Timah
Datangnya kuli tambang ini tentunya memiliki alasan selain memiliki tenaga yang kuat, sikap kerja yang lebih disiplin, mereka juga membentuk sistem kolong pada penambangan. Dahulu pribumi mengunakan linggis untuk menggeruk timah, namun kuli dari tionghoa mengunakan pacul yang memiliki cakupan yang lebih besar dan lebih lebar, dari sinilah sebutan kolong berasal dan mereka sudah memiliki pompa sederhana dari kayu yang diputar dengan tenaga air seperti kincir. Seketika produksi tambang timah meningkat tajam karena penggalian timah tak hanya dilakukan di permukaan.
Pundi-pundi uang pun sudah mulai mengalir. Karena kesuksesan itu, Kesultanan Palembang mendatangkan lebih banyak kuli kontrak dari Selatan Tiongkok yang didatangkan secara bergelombang.
Di daerah Belo, sekitar 10 kilometer dari arah Timur Muntok, merupakan daerah eksploitasi besar-besaran pertama milik Kesultanan Palembang. Salah satu klenteng di Belo merupakan salah satu bukti adanya masyarakat tionghoa yang dulu bekerja menggali tambang, dan juga pada akhirnya menikahi pribumi yang ada disana.
Pada masa itu Sultan Palembang dinobatkan menjadi orang terkaya di timur karena penjualan timah yang dijual pada kongsi dagang VOC karena terlibat perjanjian bahwa timah tidak boleh dijual ketempat yang lain.
Peralihan Kekuasaan
Di tahun 1811, Kesultanan Palembang menyerahkan Bangka dan Belitung kepada Inggris, dan di tahun 1814 muncul Traktat London yang mewajibkan Inggris untuk menyerahkan Bangka kepada Belanda, dua tahun kemudian di tahun 1816 Belanda menguasai Bangka secara penuh.
Tiga tahun kemudian terbentuklah Banka Tin Winning Bedrijf (BTW) di tahun 1819 yang merupakan perusahaan timah milik Belanda dan menjual timah dengan merek BANKA.
Namun para pekerja tambang masih merupakan masyarakat Tionghoa. Belanda pun memiliki inovasi dalam meningkatkan hasil tambang dengan melekukan sistem pompa air dengan tenaga uap yang disebut lokomobil dan juga tenaga semprot untuk menambang lahan timah.
Rezim pun berganti, di tahun 1942, pertambangan timah mulai diambil alih oleh Jepang dipimpin oleh Mitsubishi Kabushiki Kaisha (MKK). Namun pada saat itu penambangan timah jepang tidak berjalan seperti sebelumnya, penurunan hasil tambang pun terjadi, dikarenakan pemerintahan jepang lebih berfokus pada perang dan tidak terlalu memperdulikan produksi timah. Di tahun 1945, Jepang pun kalah dalam Perang Dunia II. Bahkan ditahun tersebut terjadi perang di beberapa wilayah di Indonesia termasuk Muntok sampai Pangkalpinang. Akhirnya Belanda menyerah untuk menguasai Indonesia.
Penambangan Inkonvensional
Tahun 1953 penambangan timah diserahkan kembali kepemerintahan Indoensia. Perusahan Timah Belanda dilebur kala itu, namanya berganti dari PN Tambang Timah Bangka dan menjadi PT. Timah Tbk pada tahun 1976.
Pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto PT Timah menjadi satu-satunya perusahaan yang melakukan penambangan dan peleburan, bahkan timah menjadi barang strategis dengan penjagaan yang ketat. Pada saat itu, penambangan tidak dibuka untuk masyarakat luas.
Dan di tahun 1988 ketika Soeharto tidak lagi menjabat sebagai Presiden. Kebijakan pun berganti, penambangan timah menjadihal yang lumrah yang terjadi di Negeri Serumpun Sebalai. Siapa pun dapat menambang kekayakan alam ini dengan sebutan tambang inkonvensional (TI) dan tentu saja kegiatan ini tidak dikelola oleh negara dan akhirnya menyebabkan timah tak menjadi barang strategis lagi dan berdampak pada kerusakan lingkungan di masyarakat.
Melihat penambagan darat yang semakin sulit, penambangan dialihkan ke laut atau yang biasa dikenal dengan TI Apung, kebanyakan dari mereka merupakan pendatang yang memiliki kemampuan untuk menyelam dan mencari lokasi timah di lautan, tentu saja hal ini ditentang oleh nelayan karena mempergaruhi mata pencarian nelayan, dan juga merusak ekosistem lautan.
Menggembalikan Fungsi Lahan
Banyaknya kolong-kolong yang lalai untuk direklamasi setelah melakukan aktifitas penambangan secara illegal seolah menjadi potret dari kelalaian dan keserakahan manusia. Mengambil kekayaan alam terlalu banyak, terlebih sumber daya tersebut tidak bisa diperbaharui tentunya akan menghadirkan damapak yang tak main-main ke depannya, karena kerusakan alam dan bencana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan karena siklus keseimbangan yang hilang.
Salah satu hal yang bisa dilakukan yakni dengan mengembalikan fungsi lahan pertanian dan perkebunan di Bangka, mengoptimalkan sumber daya alam yang dapat diperbarui, serta melakukan peralihan dari eks lahan pertambangan yang dapat dialih fungsikan salah satunya menjadi tempat wisata yang memanjakan mata, sebagai salah satu bentuk rasa tanggung jawabakan pelestarian alam Bangka Belitung.
Penulis : Gusti Neka
Subscribe Kategori Ini