Rumah dinas Ferdy Sambo di Komplek Polri, Duren Tiga Utara 1, Nomor 46, Jakarta Selatan, pada Senin (18/7/2022). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)
"Yang terlibat tembak-menembak polisi, di rumah polisi, yang mengusut polisi, tapi yang mati malah (kamera) CCTV. Tiba-tiba Kapolri membentuk tim dan Kompolnas ikut masuk. Judulnya (orang yang terlibat) polisi semua. Bagaimana rasa keadilan itu akan ada,"
Soleman B Ponto
Eks Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais)
Jakarta, IDN Times - Eks Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI, Laksamana (Purn) Soleman B Ponto menilai peristiwa polisi tembak polisi di rumah dinas Kadiv Propam pada 8 Juli 2022 lalu adalah tindak kriminal biasa. Sehingga, seharusnya cukup diusut oleh Bareskrim Mabes Polri.
Justru, perhatian publik terhadap kasus ini semakin meluas, karena Kapolri, Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo sampai harus turun tangan. Hal ini, kata Ponto, menandakan ada dugaan hal yang ditutup-tutupi sehingga sampai perlu dibentuk tim khusus.
"Bagi saya, kasus ini adalah kasus yang biasa saja yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh Saudara E terhadap Saudara J. Tapi, tiba-tiba alur cerita bergeser dari tembak-menembak ke dugaan kekerasan seksual. Di situ publik mulai memperhatikan," ungkap Ponto kepada media di Jakarta pada Senin, (18/7/2022).
Suasana rumah dinas Kadiv Propam Irjen Pol Ferdy Sambo di Perumahan Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Kamis (14/7/2022) (IDN Times/Lia Hutasoit)
Perhatian publik semakin besar lantaran status Bharada E masih menjadi saksi meski proses penyidikan telah berlangsung selama 10 hari. Lalu, publik semakin curiga saat Jenderal Sigit membentuk tim khusus untuk memecahkan kasus kriminal biasa.
"Ini (diberikan perhatian) sedemikian besar, padahal hanya aksi tembak-menembak biasa. Kan, publik semakin curiga," tutur pria yang sempat aktif di TNI Angkatan Laut (AL) itu.
Ia juga menyoroti pernyataan Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes (Pol) Budhi Herdi Susianto yang menyebut sudah dilakukan autopsi terhadap tubuh Brigadir J. Padahal, menurut Ponto, autopsi hanya dilakukan kepada tubuh korban.
"Kalau autopsi terhadap korban, maka ada penembak. Maka, seharusnya kasus yang berkembang adalah penembak dan yang ditembak. Nyatanya narasi yang berkembang saat ini adalah yang mati dengan pelecehan seksual," kata dia.
Ponto mengaku semakin bingung karena Brigadir J disebut oleh polisi sebagai pihak yang diduga telah melecehkan istri Irjen (Pol) Ferdy Sambo, P. "Bagaimana logika berpikirnya. Kok malah tubuh pelaku yang diautopsi. Jadi, yang dilecehkan sekarang siapa, ibu itu atau laki-laki ini. Padahal, laki-laki ini kan korban karena tubuhnya yang diautopsi," ujarnya lagi.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan oleh timsus untuk menepis semua kecurigaan publik?
Disebut aksi tembak antar polisi tapi CCTV malah ikut mati
Lantaran, penanganan kasus yang janggal sejak awal, maka tak heran bila publik banyak berspekulasi. Bahkan, spekulasi itu menyasar ke ranah keluarga Kadiv Propam.
"Yang terlibat tembak-menembak polisi, di rumah polisi, yang mengusut polisi, tapi yang mati malah (kamera) CCTV. Tiba-tiba Kapolri membentuk tim dan Kapolnas ikut masuk. Judulnya (orang yang terlibat) polisi semua. Bagaimana rasa keadilan itu akan ada," tanya Ponto.
Menurutnya, spekulasi dan persepsi publik kini menjadi liar karena ulah kepolisian sendiri. "Padahal, kalau kita kembali ke fakta yang ada, itu kan hanya peristiwa pembunuhan saja. Titik. Biasanya kan yang mengusut Bareskrim. Tapi, ini malah (kasus) melebar ke mana-mana," ujarnya.
Ia menduga kuat logika yang lompat-lompat itu sengaja dibuat untuk menutupi kebenaran yang ada. "Jangan sampai instansi kepolisian yang kita cintai ini malah melindungi para pembunuh. Saya katakan pembunuh karena ada orang mati," tutur dia.
Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), Irjen Ferdy Sambo (ANTARA/HO-Polri)
Olah TKP harus melibatkan kepala lingkungan sekitar
Kejanggalan lainnya dan diduga menjadi pelanggaran ketika tim dari kepolisian sudah melakukan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) pada 8 Juli 2022 lalu. Aktivitas itu terjadi tak lama usai Brigadir Joshua tewas di rumah dinas Kadiv Propam. Namun, berdasarkan temuan di lapangan, Ketua RT Mayjen (Purn), Seno Sukarto, justru mengeluh tak dilibatkan dalam proses olah TKP pada pekan lalu.
Menurut analis kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, olah TKP wajib melibatkan kepala lingkungan setempat. "Itu tertuang di dalam Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi HAM dalam pendidikan Polri. Itu ada di pasal 33. Itu rinci banget. Di sana disebut ada 9 item," ungkap Bambang pada hari ini kepada media di Jakarta.
Saat dicek oleh IDN Times, pasal 33 menyangkut prosedur melakukan tindak penggeledahan tempat atau rumah. Di dalam pasal 33b tertulis "memberi tahukan ketua lingkungan setempat tentang kepentingan dan sasaran penggeledahan." Hal itu jelas tak dilakukan oleh tim kepolisian.
Bahkan, di pasal 33 ayat 2g, tertulis petugas kepolisian dilarang mengambil barang dari TKP tanpa disaksikan oleh pihak yang digeledah atau saksi dari ketua lingkungan. "Sementara, pengambilan DVR CCTV di pos satpam itu kan di luar TKP. Di Perkap dilarang untuk disita, tetapi tetap diambil (oleh polisi). Siapa yang mengambil. Ini yang masih jadi tanda tanya," kata dia.
Hal-hal semacam ini, ujar Bambang, semakin menambah panjang deret kejanggalan dari peristiwa kematian Brigadir J. Alhasil, publik semakin membuat spekulasi liar.
Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, ajudan Kadiv Propam Mabes Polri. (www.instagram.com@r.lumiu)
Bharada E masih berstatus saksi meski disebut menembak mati Brigadir J
Sementara, Bharada Richard Eliezer hingga saat ini disebut oleh polisi masih berstatus sebagai saksi. Meski, ia yang disebut telah menembak mati Brigadir J.
Namun, keberadaan Bharada Eliezer belum ketahuan hingga kini. Pada pekan lalu, ia justru diketahui ikut mengajukan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Perlu kami sampaikan bahwa yang bersangkutan (Bharada E) tetap sebagai saksi," ungkap Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes (Pol) Budhi Herdi Susianto ketika memberikan keterangan pers di Mapolres Jaksel, 12 Juli 2022 lalu.
Alasannya, kata Budhi, lantaran hingga kini pihak kepolisian belum menemukan satu alat bukti untuk meningkatkan status hukum Bharada Eliezer sebagai tersangka.
"Tidak ada alat bukti ataupun bukti yang mengaitkan yang bersangkutan. Jadi, kami tidak mau beramsumsi, kami hanya mendasarkan fakta yang ditemukan di TKP," katanya lagi.
Sumber: Klik di sini