Ini sebuah kisah perjalanan hidup seorang anak manusia yang 'harus' mengakui, kemudian tunduk dan menghormati kekuatan Tuhan yang bernama cinta.
Dua puluh satu tahun yang lalu, ia masih
menjadi anak manusia yang jiwanya penuh
kobaran semangat. Ia anak muda yang gemar menebar benih cinta. Di mana ia bersemayam, di situ pulalah cium mesra atas nama cinta ia semai.
Di mana ia berada, maklumat lidah dipakainya untuk mencinta dan bercinta. Seakan sakralnya cinta cuma ia jadikan alas kaki. Sekadar untuk bisa menikmati apa yang telah tersaji. Tak soal apa yang diinjak, selama tapak kaki tetap suci, genangan darahpun tak peduli.
Suatu hari, di dua puluh satu tahun yang lalu, ia dipaksa untuk sadar, bahwa tak ada yang abadi bahkan untuk urusan bercinta. Ia tersentak, betina yang ia kasihi meninggalkannya. Pergi begitu saja sambil menenteng sekeranjang dusta-dusta.
Tanpa alasan yang jelas perpisahan itu terjadi. Hinggalah waktu bahkan perpisahan itu berumur sepuluh tahun. Dan laki-laki nir-norma ini dipaksa untuk sadar, bahwa tak selamanya hidup itu melulu soal "aku".
Dia dipaksa tertunduk bahwa selain "aku"
ternyata ada "dia" dan "mereka". Hukum alam yang tak pernah ia hormati bahwa manusia bukanlah mahluk bertegak sendiri.
Ditinggalkan betinanya membuat sang laki-laki malu, lalu mulai menyalahkan Tuhan. "Bisa-bisanya Kamu mengambil yang aku tak punya?" itu teriakannya saat sadar bahwa yang meninggalkannya, adalah separuh hatinya yang tak sengaja ia titipkan. Lalu pergi. Dia bingung. Kemudian menyalahkan Tuhan.
Dua puluh satu tahun ia cuma menggerutu
kepada Tuhan. Selalu Tuhan yang ia salahkan, bahkan saat tersulut bara rokok sendiri, atau menenggak kopi yang masih panas. Dia selalu menyalahkan Tuhan. Dia membuat jarak dengan Sang Pencipta. Setiap hari ia selalu menyalahkan, tanpa mau disalahkan. Setiap deru nafas, yang
keluar hanyalah caci maki, ungkapan tak adil.
Ternyata, butuh dua puluh satu tahun bagi
laki-laki ini untuk menyadari, bahwa Tuhan
adalah pemilik jiwa. Di saat umurnya yang
telah di ujung matang, di umur yang harusnya ia dan Tuhan telah akrab. Di umur yang harusnya ia tak lagi melemah dengan cinta. Justru, Tuhan membuat kejutan!
Ya. Dua puluh satu tahun kemudian, Tuhan
menunjukkan kuasa-Nya, ditamparlah laki-laki ini dengan kehadiran sosok betina lain. Sosok yang sebetulnya telah ia kenal dan ia kagumi sebelas tahun yang lalu.
Butuh dua puluh satu tahun bagi laki-laki ini untuk kembali berdamai dengan Tuhan. Egoistik dan narsistik yang dia tampilkan selama ini, hancur, luluh dalam hitungan menit. Adalah seorang betina dikirim Tuhan.
"Kenapa harus terlambat sebelas tahun,
Tuhan?" lagi-lagi dia mengeluh. Ke Tuhan. Dia tak sadar, itu adalah hukuman karena telah menampikkan Tuhan di hidupnya selama dua puluh satu tahun. Dia tak berTuhan selama itu dan sekarang, hukuman itu datang.
Dia di persimpangan. Dia melihat ke depan, sesekali canggung ke belakang.
"Tuhan, ini ujian-Mu?"
Dua puluh satu tahun lamanya, baru Tuhan
mengirimkan betina yang harusnya kata dia, adalah yang ada di sampingnya saat ini. Tuhan sengaja membuatnya mati kutu.
"Baiklah Tuhan, sekarang aku ingin berdamai. Tunjukkanlah yang benar, sisihkanlah yang salah, tapi jangan ambil dia lagi seperti dua puluh satu tahun lalu".
Butuh dua puluh satu tahun untuk laki-laki
ini harus mengakui kemudian tunduk dan
menghormati kekuatan Tuhan yang bernama; cinta.
Semua gara-gara betina ini. Yang tak sengaja ia jumpa di sudut kota. Yang sekarang malah memakunya di dinding penyesalan. "Kenapa dia
tidak hadir sebelas tahun yang lalu?".
Sekarang dia baru sadar, cinta adalah
penghormatan. Dan Tuhan adalah pemilik
segalanya. Ingin kami bertanya kepadanya "Hai laki-laki, apa rasanya di posisi saat ini?"
Pai