Culture


Minggu, 27 Maret 2022 15:19 WIB

Art

Teater, (Pentas) Sandiwara Primitif Hingga Modern

TEPAT hari ini, 27 Maret, hari dinanti para pecinta teater dunia. Setiap tahunnya pada tanggal itu diperingati sebagai Hari Teater Internasional. Kepopuleran ini terus berlanjut hingga sekarang. Namun, pengakuan dunia terhadap drama hiburan ini diprakarsai oleh Institut Teater Internasional (ITI) atau International Theatre Institute, pada tahun 1961. 

Dari mereka pula, pesan disampaikan, hingga akhirnya teater yang diartikan sebagai jenis kesenian pertunjukan drama yang dipentaskan di atas panggung dan memiliki makna koheren dan signifikan ini, akhirnya mendunia dan akrab sebagai salah satu hiburan dengan menampilkan perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting.

Dalam sejarahnya, seni drama visualisasi ini tidak diketahui pasti waktu dan tempat pertama kali di dunia, namun banyak informasi yang tersebar jika pertama kali lahirnya teater berasal dari negeri para dewa, Yunani. Tertulis bahwa, teater pertama kali berlangsung di Teater Dionisos yang terletak di Akropolis, Athena pada awal abad ke-5. Di zamannya, teater merupakan hiburan paling populer.

Teori tentang asal mulanya pun bermunculan. Apa saja?

1. Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.

2. Berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.

3. Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang, dsb).

Naskah teater tertua di dunia yang pernah ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir,  I Kher-nefert, di zaman peradaban Mesir kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi, di mana pada zaman itu peradaban Mesir kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan juga sudah mengenal tulis-menulis.

I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk sebuah pertunjukan teater ritual di Kota Abydos, sehingga terkenal sebagai “Naskah Abydos” yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik. Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang lebih tua. Sehingga para ahli bisa mengira bahwa jalan cerita itu sudah ada dan dimainkan orang sejak tahun 5000 SM, meskipun baru muncul sebagai naskah tertulis di tahun 2000 SM. 

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diketahui juga bahwa   pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater yang meliputi;  pemain, jalan cerita, naskah dialog, topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian, dan properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.

 Lalu bagaimana perkembangan seni teater di Indonesia?

Sejarah perkembangan teater di Indonesia di mulai dari perkembangan teater tradisional hingga teater modern seperti saat ini. Untuk lebih memahami sejarah perkembangan teater, mari simak ulasan berikut ini.

Teater Tradisional

Kasim Achmad berpendapat bahwa Zaman Hindu menjadi ujung tombak sejarah teater di Indonesia. Hal tersebut ditandai oleh terdapatnya unsur-unsur teater pada pelaksanaan upacara adat agama Hindu. Teater secara penuh disebut sebagai teater ketika telah melepaskan diri dari unsur upacara adat. Masyarakat terus mengembangkan teater kala itu dengan seni pertunjukan spontanitas kala itu.

Pembentukan teater di Indonesia sangat beragam. Ini karena Indonesia terdiri atas berbagai macam suku dan budaya. Sehingga melahirkan tata cara yang berbeda pula. Beberapa contoh teater tradisonal di Indonesia di antaranya adalah drama gong, lenong, ludruk, wayang wong, wayang kulit, ketoprak, ubrug, arja, randai, dan lainnya.

Teater Transisi

Teater transisi disebut juga sebagai teater modern. Teater transisi dilatarbelakangi oleh pengaruh budaya lain sehingga memberi sentuhan warna yang berbeda. Unsur teater transisi terdiri atas teknik teater barat yang mana pada masa itu dilakoni oleh orang Belanda pada tahun 1805.

Pertunjukan teater transisi pada masa kolonial Belanda menjadi salah satu alasan berdirinya gedung Schouwburg atau Gedung Kesenian Jakarta di tahun 1821. Teater transisi mulai dikenal luas oleh masyarakat Indonesia pada tahun 1891 atau bertepatan dengan berdirinya Komedie Stamboel di Surabaya.

Tidak hanya sampai di situ saja, teater transisi terus mengalami perkembangan hingga berdirinya The Malay Opera Dardanella atau Sandiwara Dardanella. Teater tersebut didirikan oleh Willy Klimanoff di tahun 1926. Tak lama setelahnya, perkembangan teater transisi terus bermunculan hingga zaman penjajahan Jepang seperti Sandiwara Orion, Komidi Bangsawan, dan lainnya.

Teater Indonesia Periode 1920-an

Periode 1920-an menjadi awal berkembangnya drama-drama Pujangga Baru. Naskah drama tersebut ditulis berdasarkan masalah penjajahan dan penindasan yang terjadi kala itu. Unsur teater ini disusun menggunakan Bahasa Indonesia dengan bentuk dialog antar tokoh dan sajak.

Teater Indonesia Periode 1930-an 

Teater pada masa ini merupakan lanjutan dari periode sebelumnya yang bertemakan perjuangan. Akan tetapi, terdapat tambahan warna dengan sentuhan cerita kerajaan dan kisah mistis.

Beberapa di antaranya adalah Keris Empu Gandring yang ditulis oleh Imam Supardi, Hantu yang ditulis oleh Mr. Singgih, dan Nyai Blorong yang ditulis oleh Dr. Satiman Wirjosandjojo.
Selain itu, Ir. Soekarno juga berkontribusi terhadap perkembangan teater di Indonesia di masa pengasingannya ke Bengkulu. Beliau menuliskan lakon Dr. Setan, Kriukut Bikutbi, dan Rainbow di tahun 1927.

Teater Indonesia Periode 1940-an

Teater ini berkembang di masa penjajahan Jepang sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan totaliter Jepang. Meskipun demikian, ide kreatif muncul dari Kamajaya dan Anjar Asmara yang menginisiasi Badan Pusat Kesenian Indonesia.
Ide tersebut diwujudkan oleh Presiden Soekarno yang didukung oleh Sanusi Pane, Armijn Pane, Mr. Sumanang, Kama Jaya, ddan Sutan Takdir Alisjabana.

Teater Indonesia Periode 1950-an

Periode teater 1950an juga disebut sebagai perkembangan teater di awal kemerdekaan. Teater ini pada umumnya terdiri atas kisah-kisah perenungan atas jasa pahlawan yang gugur memperjuangkan kemerdekaan. Kisah tersebut menggoreskan kesan dan nilai keberanian, kekecewaan, kemunafikan, pengorbanan, keikhlasan, sikap pengecut, dan kepahlawanan.
Beberapa karya teater Indonesia periode 1950an adalah Awal dan Mira pada tahun 1952, Sayang Ada Orang Lain pada tahun 1953 oleh Utuy Tatang Sontani, Hanya Satu Kali oleh John Galsworthy pada tahun 1956, dan The Man in Grey Suit oleh Averchenko.

Teater Indonesia Periode 1960-1970-an

Pada periode ini, teater berkreasi dengan menggabungkan unsur tarian, dagelan, dan unsur etnis lainnya. Beberapa karya terkenal di masa ini di antaranya adalah Paman Vanya oleh Anton Chekhov, Biduanita Botak dan Badak-badak oleh Ionesco di tahun 1960, Pangeran Geusan Ulun oleh Saini KM di tahun 1961, Teater Teror, dan Teater Koma.

Teater Indonesia Periode 1980-1990-an

Perkembangan teater Indonesia pada periode ini mulai mendapatkan perhatian khusus dengan didirikannya lembaga teater.  Dengan adanya lembaga teater tersebut, lahirlah beragam festival teater seperti Festival Teater Jakarta, Festival Seni Pertunjukan Rakyat di Yogyakarta, Teater Gapit di Solo, Teater Bel di Bandung, dan lainnya.

Teater Kontemporer Indonesia

Teater kontemporer Indoenesia menunjukkan perkembangan dunia teater dengan adanya sentuhan gaya baru. Beberapa seniman menggabungkan unsur teater konvensional dengan teater eksperimental dengan jangkauan ekspresi yang lebih luas.
Nah, itulah ulasan seputar sejarah perkembangan teater di Indonesia. Perkembangan teater tersebut juga dipengaruhi oleh kemajuan teknologi seperti yang bisa kamu rasakan seperti saat ini.


Sumber: Tambahpinter

RGA


#Teater
Bagikan :

Subscribe Kategori Ini
Most Populer
Pangkalpinang Bangka Selatan Bangka Induk Bangka Barat Bangka Tengah Belitung Belitung Timur