Matanya sayu. Kakinya ia biarkan menjuntai di tepi teras rumah yang ubinnya terkelupas di beberapa sudut karena dimakan usia. Dinding rumah warna biru langit tapi sedikit kusam. Entah kapan terakhir dirawat. Tapi rumah itu yang paling bagus di kampung walau terkesan suram.
DI HALAMAN beberapa anak ayam mematuk-matuk tanah ikut sang induk. Dan Ruminah merasa terganggu. Diusirnya anak ayam beserta induknya itu jauh-jauh.
Tiba-tiba ada yang memanggil. Ruminah terperanjat. Buru-buru Ruminah memperbaiki posisi duduknya. Daster coklat motif bunga tulip yang ia pakai sedikit tersingkap oleh angin. Ruminah menutup cepat aurat. Ia tak mau ada yang sembarang melihat.
Itu adalah suara Pak RT, Pak Ano namanya. Sore itu Pak RT memang ke rumah-rumah warga mengantar blanko dari Pak Lurah. Pak RT Ano agak lama berdiri di depan Rita--nama bekennya Ruminah di kalangan pria hidung belang.
Pak RT memandang Rita. Wajar, mungkin karena paras Rita cantik menggoda. Tanpa riasan justru membuatnya semakin menawan yang membuat Pak RT betah berlama di muka Rita Ruminah. Dan itu sudah biasa. Semua orang tahu siapa Pak Ano. Selalu cari-cari cara untuk melihat Rita.
Padahal sore itu Rita cuma mau menikmati sepoi angin. Memanjakan tubuh. Setelah semalam dia baru pulang jam 4 subuh sebelum toa masjid mengumandangkan tarhim. Entah Rita dari mana bersama temannya, Amara.
Rita Ruminah terlihat lelah, tapi entah kenapa, sore ini Rita tak biasa. Dia benar-benar tampak kosong sebelum Pak RT memanggil. Entah berapa lama Pak RT di situ. Dan entah apa saja yang sudah dilihat Pak RT. Karena Rita memang tenggelam dalam lamunan.
Rita Ruminah cuma melempar senyum sedikit kepada Pak RT yang sore itu sengaja pakai kemeja krem garis-garis yang ia masukkan rapi ke dalam celana walaupun sedikit memaksa, karena ukuran perutnya yang buncit menyiksa kancing kemeja. Pak RT jarang rapi, kecuali kalau itu berurusan dengan pujaan hati, Rita Ruminah Binti Syaikoni.
Rita Ruminah adalah wanita dewasa, umurnya kira-kira 36 tahun, lahir dan besar di kampung itu. Usai tamat dari SMP Negeri 12, satu-satunya sekolah menengah di kampung mereka, Rita mencoba datang ke kota. Maksud hati mau cari kerja. Bantu orangtua.
Sayangnya, jalan hidup Rita tak berjalan mulus. Rita terombang-ambing. Dia harus hidup dari satu warung ke warung lain hampir tiga tahun. Tak menentu. Upahpun tak seberapa, lebih banyak dipotong 'jasa'.
Tapi Rita punya kemauan yang kuat untuk berubah, Rita mulai pintar. Dia tak mau jadi sembarang. Rita tak lagi menemani pria ngopi di warung. Tongkrongan Rita naik kelas. Ya. Rita memang PSK yang cukup dikenal sebelum ia memilih pensiun. Rita seorang PSK yang berhati mulia. Entah berapa mushala yang tak lagi bocor karena bantuan Rita. Entah berapa anak-anak bisa sekolah setelah Rita turun tangan.
Tapi sayangnya cukup lama Rita bermain dengan dosa dan bahaya. Hingga akhirnya Rita merasa sudah cukup. Rita tak mau melulu dipandang layaknya benalu berbajukan intan permata yang dikurung dalam kaca berlapis emas.
Rita yang molek cantik secantik manikam, kini sudah membuang jauh masa lalu. Rita punya usaha, buka warung sederhana di depan rumah. Rita tak peduli warungnya cuma ramai oleh lelaki. Semua modal bisa ditutupi dari laki-laki yang tak pernah putus ngopi. Malah Rita kewalahan dan sering kehabisan kopi. Sayangnya, terkadang, mata betina-betina lain di kampung selalu sinis memandang Rita. Warung Rita seperti halte kata mereka.
"Kalian tak tahu apa yang sudah ku lewati untuk menjadi seorang manusia," sering Rita begitu menggerutu setiap ia melihat pandangan mata wanita kampungnya.
Itulah yang membuat Rita melamun. Karena warungnya dipaksa tutup lantaran selalu mendapat keluhan. Terlalu banyak pria di sana. Rita bingung. Dia merasa tak ada yang salah, Rita tak lagi PSK. Lalu, Rita mau kerja apa? Tapi kenapa mereka masih memandang rendah? Cuma karena warungnya dihinggapi banyak lelaki?
"Bekas luka tak akan pernah hilang Rita. Janganlah meradang. Terima saja apa yang kau tanam. Apa yang kamu lakukan kemarin, bekasnya akan terus ikut sampai kau terbujur di liang kubur," kata Amara, sahabat Rita Ruminah sesama mantan PSK.
"Tak adil. Kenapa para pria tak pernah dianggap hina?," tanya Rita.
"Sadarlah Rita, jangan meminta adil dari lelaki. Mereka datang dan pergi sesuka hati sampai suatu hari mereka bosan sana-sini. Lelaki tetaplah lelaki, mereka punya dunia sendiri. Kita? Teman kita cuma takdir," sebut Amara sambil menyeka air mata di pipi Rita. Lalu minta izin pulang. Meninggalkan Rita sendirian.
Dan Rita juga mau pergi. Tak mau lagi kembali. Karena luka hati Rita terlalu menganga. Begitu juga luka gores di tangan kanannya, sebuah sayatan tepat di nadi. Rita telah terbujur kaku tepat di teras rumah membawa dendam yang kelam.
PAI