Makna Ritual Cheng Beng
Ziarah kubur atau Ceng Beng menjadi cara untuk menunjukkkan kasih sayang dan rasa hormat yang tinggi terhadap orang tua dan juga leluhur. Hal ini dapat terlihat dari matangnya persiapan yang dilakukan dalam menjalankan ritual Ceng Beng yang sudah berumur 3.000 tahun ini.
Salah seorang masyarakat keturunan Etnis Cina di Pangkalpinang, Nelly menceritakan bahwa ritual Ceng Beng merupakan tradisi yang sudah turun temurun dalam keluarganya, setiap tahunnya , puncak ritual yang jatuh di tanggal 4 atau 5 April ini menjadi momen berkumpulnya semua keluarga yang tinggal tak hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lainnya.
Dirinya mengatakan, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan ziarah makam. Biasanya keluarga akan mempersiapkan barang-barang keperluan yang dibutuhkan seperti, memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para leluhur sehari sebelum mengunjungi makam. Ragam jenis makanan pun terdiri dari kue, buah-buahan, daging babi dan daging ayam, arak, dan dapat ditambahkan dengan makanan kesukaan dari leluhur. Peralatan lain seperti, lilin, dupa (hio), tempat dupa, kertas kim ci, uang akhirat kimcua dan gincua, barang-barang untuk dipersembahkan dan barang-barang yang akan dibakar.
Ziarah kubur yang dilakukan pada dini hari menjelang subuh, makam leluhur pun dibersihkan, yang maknanya agar leluhur melihat bakti serta penghormatan dari keturunannya, terhadap dirinya dan “rumah” akhiratnya. Peziarah mengajak anak-anak mereka untuk membersihkan kuburan sebagai sebuah pembelajaran dan pewarisan tradisi, agar mereka terbiasa dan dapat mengenang jasa leluhur yang sudah meninggal.
Ritual selanjutnya yakni penyusunan lilin (lak cek), ini memiliki makna sebagai lambang dari penerangan, yang dipercaya akan menerangi roh para leluhur di akhirat. Lilin tersebut harus tetap dalam kondisi menyala di saat keluarga sedang melakukan sembahyang Ceng Beng. Sedangkan dupa (hio) berfungsi sebagai alat untuk memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu, juga sebagai persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia. Dupa yang dibakar masyarakat Tionghoa saat sembahyang melambangkan keharuman yang diharapkan tersebar ke seluruh penjuru alam. Sementara tempat dupa (hiolo), tempat dupa ini dulu dibawa dari rumah, namun saat ini, makam sudah banyak di design memiliki tempat dupa sendiri, sehingga banyak keluarga yang tak lagi membawa Hiolo saat ziarah kubur.
Makanan dan minuman serta buah-buahan juga dihadirkan sebagai sesajian persembahan kepada para leluhur. Persembahan ini dahulu adalah makanan yang sangat disukai oleh leluhur dan ditata sedemikian rupa agar terlihat indah. Di letakkan di belakang lilin dan di sejajarkan berdasarkan jenisnya serta disesuaikan letaknya dengan bentuk makam. Keindahan makamnya di bumi seolah mencerminkan wujud rumah leluhur di alam baka. Sehingga Etnis Tionghoa percaya bahwa, proses menghias makam ini juga memiliki makna sebagai wujud cinta kasih kepada leluhur diwujudkan dengan makam yang elok.
Setelah semuanya selesai disiapkan, proses selanjutnya yakni sembahyang. Pada tahap ini, masing-masing anggota keluarga memanjatkan doa dengan menghadap kearah thusin dengan menyalakan dupa (hio), untuk keselamatan agar arwah leluhur tenang di alam baka. Mereka menghormati dengan cara membungkukkan tubuh sebanyak tiga kali lalu berdoa dan kembali menghormati sebanyak tiga kali dan menancapkan dupa di tempat dupa (hiolo) di depan makam.
Proses sembahyang dan penghormatan ini, dilakukan berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga, dimulai dari anggota keluarga yang paling tua kemudian disusul oleh yang lebih muda dan seterusnya. Beragam doa pun dipanjatkan dalam ziarah kubur ini, mulai dari diberikan kemurahan rezeki, kesejahteraan, umur yang panjang dan roh-roh leluhur agar tetap bersama mereka selamanya untuk menjaga dan memberi berkat yang melimpah. Terdapat kepercayaan bahwa jika tidak melakukan ziarah kubur ini maka, kehidupan mereka akan mengalami banyak rintangan dan kesulitan, karena hilangnya berkat dari leluhur.
Setelah melakukan ritual sembayang, keluarga mempersembahkan barang-barang duplikasi dari kertas seperti baju, sepatu, rumah, mobil, TV dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Terdapat juga uang akhirat yang disebut Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak). Uang ini dipersembahkan kepada roh leluhur dengan cara dibakar. Mereka percaya bahwa kehidupan di akhirat tak ubahnya dengan kehidupan di dunia, barang-barang tersebut nantinya akan dipakai dan digunakan oleh roh leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di akhirat selama setahun sampai pada perayaan Ceng Beng tahun berikutnya.
Bagian akhir dari ritual tradisi Cheng Beng ditutup dengan cara berpamitan di depan makam leluhur. Sama halnya dengan tahap sembahyang, masing-masing anggota keluarga akan berpamitan secara bergantian di depan makam leluhur dengan memanjatkan doa dan memberitahu bahwa mereka telah melaksanakan kewajibannya dan hendak bersiap pulang ke rumah. Hal ini dilakukan agar roh leluhur bersedia untuk datang mengunjungi rumah mereka nantinya.
Tradisi perayaan Ceng Beng atau Qing Ming ini dilakukan dalam kurun waktu 10 hari, di penanggalan Cina yakni pada tanggal 15 sampai 23 dan setiap Masyarakat Tionghoa boleh memilih tanggal apa saja di rentang waktu tersebut.
Menurut salah seorang pengurus/pelaksana harian Perkuburan Yayasan Gotong Royong Desa Jeruk, Gunawan atau sering disapa Aguan menuturkan bahwa, pelaksanaan Ceng Beng telah dimulai dari pertengahan Bulan Maret dan puncak atau penutupannya di tanggal 4 April 2021 ini. Pada ziarah kubur, anggota keluarga akan membersihkan makam sebelum waktu kunjungan. Pihak keluarga biasanya mengunjungi makam pada pagi hari pada pukul 05.00 hingga pukul 08.00 WIB.
Dalam masa pandemi Covid-19 ini dijelaskan Aguan, pihak yayasan atau pengelola melakukan pembatasan dengan membuat jadwal yang ketat bagi para keluarga yang akan berkunjung. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan atau kerumunan sesuai anjuran pemerintah. Namun hal ini tentunya tidak mengurangi tujuan dari ziarah kubur ini.
Beragam ritual Ceng Beng menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam menjalankan kehidupan dan kematian. Bagi mereka, mempersiapkan kehidupan sama pentingnya dengan mempersiapkan kematian. Ceng Beng mengisyaratkan, bahwa sesungguhnya mereka berasal dari leluhur yang sama, bakti kepada leluhur dan orangtua dipercaya sebagai langkah awal untuk menuai banyak keberkahan. Tradisi Ceng Beng ini mewariskan rasa kekeluargaan yang tinggi untuk setiap generasi, kumpul bersama keluarga yang datang dari berbagai daerah bahkan negara untuk mempersiapkan ritual Ceng Beng, berdoa bersama di makam leluhur, dan menghabiskan waktu dalam jamuan makan bersama, tentu akan menghadirkan rasa syukur, bahagia, dan tentunya mewariskan tradisi yang terjaga.
Gusti Neka
Subscribe Kategori Ini